Selasa, 09 November 2010

perkembanganindustri farmasi serta hubungannya dengan etika dokter dalam memberikan resep

Jika ada bisnis yang paling menyempal dari hukum pasar, pastilah industri farmasi di Indonesia salah satunya (kalau bukan satu-satunya di dunia). Di pasar yang nilainya relatif kecil (cuma 0,3% pasar dunia), bersikutat sejumlah besar pemain (sampai 3,0% populasi perusahaan farmasi dunia) yang menghasilkan 18 ribu merek produk. Hebatnya lagi, bisnis dari 200-an perusahaan itu bukan cuma mampu bertahan, melainkan juga tumbuh pesat. Pada 2002, menurut Sekjen GP Farmasi M. Sjamsul Arifin, pertumbuhan agregat nilai pasar mereka mencapai 23,6%.
Terdengar seperti paradoks?  Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memang menyebut “keajaiban” di atas sebagai satu dari beberapa paradoks yang melekat pada industri farmasi Indonesia, dalam Kajian Industri Farmasi– yang mereka lakukan tahun lalu.
Tak pelak, pertumbuhan yang hampir selalu tertinggi tersebut plus kenyataan bahwa harga obat di Tanah Air adalah salah satu yang termahal di dunia, membuat banyak orang yakin bahwa industri farmasi kita menikmati margin yang sangat gemuk. Tak heranlah, dengan ditambah potensi pasar yang luar biasa besar — pada 2002 saja pengeluaran kesehatan di Indonesia yang baru US/kapita/tahun, alias jauh lebih rendah ketimbang Malaysia (US/kapita/tahun) apalagi Singapura (US/kapita/tahun) — investasi baik domestik maupun asing datang membanjir.
Kecuali pada 1999, menurut Laporan Bank Indonesia (2001), pangsa investasi domestik dan asing di industri kimia dan farmasi terhadap investasi total selalu mencapai dua digit — sekaligus terbesar di antara semua jenis investasi di Indonesia. Bahkan pada 1999 itu, hanya pangsa investasi PMDN yang anjlok ke angka 4,63%. Sebab, pada puncak krisis moneter, pangsa investasi asing industri kimia dan farmasi masih bertengger di puncak dengan angka 30,03% total investasi asing yang disetujui. Namun, tingginya tingkat investasi di sektor farmasi ini tak didukung ketersediaan bahan baku. Hampir 80% bahan baku produk obat-obatan berasal dari impor.
Paradoks lain yang disebut KPPU menyangkut perilaku pemasaran. Sebagian besar (60%), produk farmasi yang beredar di Indonesia obat OTC (over the counter). Cobalah buka buku yang memuat daftar obat yang beredar di Tanah Air (seperti DOI atau IIMS) — bisa dipastikan hanya sebagian kecil “obat bebas” tadi yang pernah Anda dengar dan lebih sedikit lagi yang Anda kenal mereknya. Pasalnya, walau obat OTC boleh diperdagangkan tanpa resep dokter, sebagian besar dipasarkan seperti obat ethical, alias obat yang harus dijual berdasarkan resep dokter: secara B2B (business to business), terutama ke rumah sakit dan (poli)klinik besar.
Sepintas, pemasaran B2B tampak seperti membatasi diri. Namun sebenarnya, itulah strategi yang pintar. Bahkan, strategi itulah yang memungkinkan perusahaan farmasi bertumbuh dengan pangsa pasar yang sangat kecil, yang bila di pasar normal tak mungkin hidup karena skala ekonominya kelewat gurem. Maklum, dengan memasarkan langsung kepada segelintir orang bagian pengadaan obat di rumah sakit dan (poli)klinik, pabrik farmasi tak memerlukan upaya promosi luas — yang amat mahal — kepada masyarakat..
Sayangnya, strategi yang cantik ini bisa mengundang moral hazard. Kita tahu, pasar industri farmasi bersifat asimetris. Dalam industri yang informasinya dimonopoli oleh profesional kesehatan ini, posisi bargaining konsumen akhir obat-obatan sangat lemah, karena UU Kesehatan yang berlaku memberi wewenang penuh dokter menentukan bukan saja jenis melainkan juga merek obat yang diberikan ke pasien.
“Kalau dokter udah nulis merek obat tertentu dalam resepnya, apotek nggak boleh ngeganti,” ujar seorang asisten apoteker di apotek di bilangan Manggarai, Jakarta. “Kecuali kalau dokter itu ngasih izin.”
Wewenang dokter yang begitu besar ini jelas membuka peluang “simbiose mutualistis” antara oknum dokter dan perusahaan farmasi. Kalau hal ini terjadi — bukan mustahil lagi di negeri terkorup di dunia ini — pasar akan terdistorsi dan konsumen harus membayar dengan harga lebih mahal ketimbang seharusnya.
Hal lain yang menyebabkan tingginya harga obat adalah hak paten yang memungkinkan pabrik farmasi memonopoli produksi obat sampai masa paten yang bersangkutan habis. Pemilik paten biasanya PMA yang umumnya menggarap obat ethical, dan hanya sedikit menawarkan obat OTC lantaran tak mampu bersaing harga dengan PMDN. Untuk ikut menikmati kue paten yang bermargin tinggi ini, PMDN berlomba mendapatkan lisensi dari kampiun industri farmasi mancanegara yang tak memiliki pabrik di Indonesia.
Strategi lain yang dilakukan PMDN adalah membuat obat me-too (yang komposisinya meniru obat paten milik perusahaan asing) dengan membayar royalti. Besarnya fee yang mesti dibayar? Tak kelewat tinggi, konon cuma sekitar 2%. Tak heranlah, industri farmasi domestik umumnya lebih suka tergantung pada industri farmasi asing, ketimbang melakukan R&D yang memerlukan biaya besar dan berisiko tinggi.
Maka menakjubkanlah bahwa industri farmasi nasional mampu menjadi tuan di negeri sendiri walau jumlahnya memang jauh lebih banyak ketimbang PMA. Pada 2003, menurut IMS Health, para pemain domestik itu menguasai sekitar 62% pangsa pasar yang diperkirakan bakal bernilai Rp18 triliun. Tahun lalu, dari nilai total pasar Rp15,7 triliun, sekitar 40% dikuasai 20-an pabrik farmasi asing. Pangsa yang lebih besar, 60%, diperebutkan oleh hampir 200 pabrik farmasi domestik.
Pasar besar yang masih akan terus berkembang
Nilai total pasar farmasi nasional (2002)      Rp 15.644,52 miliar
  • Ethical                                                           Rp 9,6 triliun
  • OTC                                                              Rp 6,0 triliun
Total produk                          7.308 produk dalam 13.383 kemasan
Produk baru (1998 – 2002)     1.068 produk dalam   1.612 kemasan
Jalur distribusi:
- Apotek                    24,3%
- Toko Obat               12,7%
- Apotek Rumah Sakit  11,2%
- Grosir (OTC)            25,7%
- Lain-lain                   6,0%
Sumber: IMS Health 2003.
Lebih dari itu, walau perusahaan farmasi memiliki rata-rata pangsa pasar besar, lima besar perusahaan farmasi di Indonesia dikuasai PMDN. Pada 2002, dari segi penjualan kampiun farmasi asing tertinggi cuma menduduki peringkat ke-7. Kenyataan bahwa pada 2000 perusahaan tersebut, Aventis, menduduki peringkat ke-5 dan pada 1998 posisi ke-3, menunjukkan kemajuan pesat para kampiun industri farmasi lokal.
Sebagai perusahaan tunggal, Sanbe Farma yang mengandalkan penjualan obat ethical (terutama antibiotik), pada 2002 merebut posisi puncak dari tangan Kalbe Farma yang sejak 1998 sebagai perusahaan farmasi dengan penjualan terbesar di Indonesia. Toh, secara kelompok, grup bisnis yang berada di bawah payung Kalbe — meliputi 9 perusahaan farmasi — masih memimpin. Kendati demikian, Sanbe tetap menempati posisi terhormat (peringkat ke-2).
Dengan struktur bisnis yang berbentuk grup, Kalbe punya keuntungan tersendiri. Menggunakan anak perusahaan yang berbeda, mereka lebih leluasa meluncurkan berbagai inovasi — termasuk produk buat kalangan bawah — yang kalau pun gagal tak akan mencoreng reputasi perusahaan flag carrier-nya, Kalbe Farma. Keleluasaan tadi terbukti membuat Bintang Toedjoe, salah satu anak perusahaan yang diperoleh Kalbe melalui akuisisi, berhasil meraup sukses pasar dengan Extra Joss dan Irex. Bahkan, sukses  kedua food supplement dan obat yang belum teruji secara klinis inilah (serta kenaikan harga obat), ditengarai membuat pertumbuhan penjualan industri farmasi beberapa tahun terakhir mencapai dua digit.
Tuan Rumah di Negeri Sendiri
Lima Besar Perusahan Farmasi di Indonesia (1998 – 2002)
5
Sumber: IMS Health 2003.
Banyaknya pemain dan struktur pasar yang terfragmentasi membuat industri farmasi di Indonesia secara legal tidak dapat dikatakan mono atau oligopolistis. Data menunjukkan, secara umum lima kelompok perusahaan farmasi terbesar yang ada hanya menguasai sekitar 36% pangsa pasar. Kondisinya mungkin akan berbeda kalau kita bisa memotret struktur pasar per kategori produk. Dengan analisis yang lebih rinci terhadap pasar kategori produk antibiotik, misalnya, boleh jadi ditemukan satu atau segelintir pemain yang menguasai pasar itu secara mono atau oligopolistis. Sayangnya, data seperti ini mahal dan tak gampang diperoleh.
Hal lain yang menarik, Indofarma yang terpuruk rugi karena salah urus yang berlarut-larut oleh manajemen lama berhasil menduduki peringkat ke-5. Kenyataan bahwa Indofarma — yang berkode INAF di Burfa Efek Jakarta — mengandalkan nyaris seluruh penjualannya pada obat generik menggambarkan posisi strategis BUMN Farmasi ini sebagai “penyangga harga obat-obat murah.”
Awalnya, pemerintah hanya menugaskan tiga BUMN Farmasi — Indofarma, Kimia Farma, Phapros — untuk mencukupi kebutuhan obat bermutu dengan harga terjangkau. Oleh pemerintah, harga beberapa jenis obat generik yang wajib mereka sediakan ditetapkan di bawah harga produksi dan kerugiannya ditutup oleh beberapa jenis obat generik lainnya yang bermargin agak gemuk, alias disubsidi silang.
Tak terkena aturan ini, pabrik farmasi swasta yang kemudian diizinkan masuk hanya memproduksi obat-obat yang bermargin gemuk dan besar pasarnya, sehingga Dexa Medica, misalnya, bisa menjadi produsen obat generik yang besar sekaligus menguntungkan. Dari tiga pabrik farmasi pelat merah di atas, hanya Phapros — yang notabene terkecil, serta Dexa yang berada di daerah, memiliki portofolio produk relatif lengkap dan seimbang — yang mampu membukukan kinerja keuangan memadai.
Kenaikan harga obat-obat generik tertentu yang dilakukan pemerintah — mengambil kalimat seorang petinggi BUMN Farmasi, “justru diributkan oleh orang yang tak pernah minum obat generik” — itu boleh dibilang hanya mengembalikan harga obat ke tingkat yang lebih wajar, dan hanya memerlukan sedikit subsidi silang. “Memang, Indofarma paling diuntungkan,” ujar seorang petinggi BUMN Farmasi lain yang bukan orang Indofarma dan juga merasa diuntungkan oleh kenaikan harga tadi. “Tetapi, jujur saja, intinya lebih untuk mengoreksi kebijakan pemerintah yang dulu, sehingga semua produsen obat generik bisa bersaing pada tataran main yang sama.”
Dengan tataran main yang sama, level playing field, Dani Pratomo yakin akan bisa membawa Indofarma menjadi produsen obat generik yang sehat. “Kami akan terus fokus pada obat generik,” ujar Direktur Utama Indofarma itu. “Dan kami yakin, dengan strategi ini kami akan bangkit dan tumbuh besar.”
Strategi fokus ke obat generik adalah masuk akal. Di tingkat global ada semacam gerakan yang mendorong ketersediaan obat bermutu yang harganya terjangkau masyarakat luas. Bahkan, berbagai badan dunia ikut pula mendesak para kampiun industri farmasi untuk sedikit melonggarkan genggamannya terhadap paten obat-obat live saving seperti anti-HIV, agar dapat dibuat produk generiknya oleh negara dunia ketiga untuk masyarakat mereka yang berdaya beli lemah. Sementara ini, yang paling memanfaatkan peluang tadi tampaknya kalangan industri farmasi India.
Alasan lain untuk fokus adalah kenyataan bahwa dalam bisnis obat generik faktor harga merupakan kunci daya saing. Maka, menjadi efisien merupakan keharusan. Efisiensi inilah agaknya yang ingin dipertajam Indofarma dengan strategi barunya yang lebih fokus. Apalagi, dengan otonomi daerah, pasar obat generik telah sangat terfragmentasi — pengadaan obat bermutu yang murah ini tak lagi tersentralisasi, sehingga juga memerlukan penanganan tersendiri. Sebelumnya, Indofarma pernah cukup agresif merambah naturo medicine dengan mempromosikan Prolipid dan obat lain yang berasal dari tumbuhan.
Tentang naturo medicine, alias obat dari bahan alami, yang diakui sebagai salah satu obat masa depan ini, pemerintah tampaknya masih gamang sehingga memberikan mixed signal. Di satu sisi, Badan POM menjamin hak paten terhadap fitofarmaka. Di sisi lain, otoritas pemberi izin produk farmasi ini cenderung memperlakukan obat alami yang telah terbukti khasiatnya secara klinis sebagai obat ethical yang tak boleh dipasarkan secara bebas.
Ambil contoh Prolipid dan Tensigard. Obat yang disebut belakangan — antihipertensi yang mengandung ekstrak seledri dan ekstrak kumis kucing — tak boleh dipromosikan ke masyarakat luas justru karena telah terbukti berkhasiat menurunkan tekanan darah. Sementara itu, Prolipid yang belum dibuktikan secara klinis khasiatnya boleh diiklankan di mana saja dan kapan saja, tak peduli hal itu akan merugikan masyarakat. Tak heranlah, obat-obat alami yang khasiatnya cuma “katanya” itu kian menyerbu pasar, bak pedagang asongan di masa sulit cari kerja formal.
Kalo udah melakukan R&D yang mahal malah jual produknya susah, kan lebih enak bikin obat yang nggak usah diteliti aja — langsung dipromosikan seperti orang jual kecap,” ujar seorang petinggi pabrik farmasi menyayangkan kebijakan yang dirasa kurang mendukung pengembangan obat tradisional menjadi obat modern yang dapat diterima di pasar internasional. Upaya Cina yang terpadu dalam menginternasionalkan obat tradisionalnya mungkin perlu ditiru.
Saat ini fenomena obat Cina telah merambah dunia. Bahkan Majalah Time (setidaknya yang edisi Asia) pernah menulis laporan utama tentang obat tradisional dari Negeri Tirai Bambu itu. Kalau tak waspada dan terus salah urus, kita justru bisa tergempur di sektor farmasi yang sebetulnya menjadi kekuatan kita.
Fenomena lain yang mesti diwaspadai adalah pemberlakuan pasar bebas. Untuk sektor farmasi, menurut Ferry A. Soetikno, AFTA akan berlaku mulai 2005. Untuk mempersiapkan diri menghadapi AFTA, Direktur Pengelola Dexa Medica itu mengakui, “Kami telah mulai mengekspor sejak 1993.” Didirikan pada 1971, perusahaan farmasi yang bermarkas di Palembang ini lebih memfokuskan pada obat ethical, termasuk untuk tujuan ekspor.
Dari dalam negeri, rencana pemberlakuan UU Sosial Asuransi Kesehatan merupakan hal yang mesti diwaspadai. Masuknya asuransi besar yang pasti bakal mengubah struktur pasar ini harus diantisipasi oleh industri farmasi dengan inovasi di bidang pemasaran. Bagi masyarakat, UU SAK merupakan berita baik. Dengan hadirnya asuransi yang memiliki posisi bargaining kuat terhadap perusahaan farmasi itu, kita semua dapat berharap di masa mendatang harga obat tidak kelewat mencekik.

Selasa, 26 Oktober 2010

perkembangan farmasi di dunia

Sejarah industri farmasi di Indonesia diawali dengan berdirinya pabrik farmasi pertama yang didirikan di Hindia Timur pada tahun 1817, yaitu NV. Chemicalien Rathkamp & Co dan NV. Pharmaceutische Handel Vereneging J. Van Gorkom & Co. pada tahun 1865. Sedangkan industri farmasi modern pertama kali di Indonesia adalah pabrik kina di Bandung pada tahun 1896.
Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1957-1959 setelah perang kemerdekaan usai perusahaan-perusahaan farmasi milik Belanda yaitu Bovasta Bandoengsche Kinine Fabriek yang memproduksi pil kina dan Onderneming Jodium yang memproduksi Iodium dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia yang pada perkembangan selanjutnya menjadi PT Kimia Farma (persero). Sementara pabrik pembuatan salep dan kasa, Centrale Burgelijke Ziekeninrichring yang berdiri pada tahun 1918 menjadi perum Indofarma yang saat menjadi PT Indofarma (persero).
Namun demikian, perkembangan yang cukup signifikan bagi perkembangan industri farmasi di Indonesia adalah dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada tahun 1968 yang mendorong perkembangan industri farmasi Indonesia hingga saat ini.
Dewasa ini, industri farmasi di Indonesia merupakan salah satu industri yang berkembang cukup pesat dengan pasar yang terus berkembang dan merupakan pasar farmasi terbedar di kawasan ASEAN. Dari data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI, 2005), pertumbuhan industri farmasi Indonesia rata-rata mencapai 14,10% per tahun lebih tinggi dari angka pertumbuhan nasional yang hanya mencapai 5-6% per tahun. Total angka penjualan tahun 2004 mencapai lebih kurang Rp 20 triliun (untuk tahun 2005 sebesar Rp 22,8 triliun, dan tahun 2006 sebesar Rp 26 triliun). Namun jika dilihat dari omzet penjualan secra global (all over the world), pasar farmasi Indonesia tidak lebih dari 0,44% dari total pasar farmasi dunia.
Demikian pula jika dilihat dari angka konsumsi obat per kapita yang hanya mencapai kurang dari US$ 7,2 per kapita/tahun (IMS, 2004) dan merupakan salah satu angka terendah di kawasan ASEAN (sedikit di atas Vietnam). Konsumsi obat tertinggi adalah Singapura, disusul oleh Thailand, Malaysia, dan Filipina.
konsumsi obat ASEAN
Pasar farmasi Indonesia merupakan pasar yang terbesar di ASEAN. Ke depan pasar farmasi Indonesia diprediksikan masih mempunyai pertumbuhan yang cukup tinggi mengingat konsumsi obat per kapita Indonesia paling rendah di antara negara-negara ASEAN. Rendahnya konsumsi obat per kapita Indonesia tidak hanya disebabkan karena rendahnya daya beli tapi juga pola konsumsi obat di Indoneisa berbeda dengan di negara-negara ASEAN lainnya. Di Malaysia misalnya, pola penggunaan obat lebih mengarah pada obat paten. Harga obat paten jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga obat branded generic.
Dengan makin membaiknya pendapatan per kapita dan sistem jaminan kesehatan Indonesia di masa mendatang, maka nilai peredaran obat di Indonesia akan besar. Keadaan ini tentu akan mempunyai korelasi postif dengan pertumbuhan industri farmasi Indonesia di masa mendatang.
Berdasarakan gambar di atas, total penjualan industri farmasi Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Berbeda dengan negara-negara ASEAN lainnya, pangsa pasar industri farmasi domestik Indonesia dibandingkan dengan PMA/MNC (Multi National Company) jauh lebih besar. Pada tahun 2005 diperkirakan pangsa pasar industri domestik sekitar 75% sedangkan MNC sekitar 25%. Di Malaysia dan Filipina market share produk MNC lebih dari 50% atau lebih besar dibandingkan dengan pangsa pasar industri domestiknya.
Ekpor obat Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan meskipun nilainya relatif belum besar yaitu sekitar 5% dari total penjualan industri farmasi Indonesia. Dengan diberlakukannya harmonisasi regulasi farmasi ASEAN selambat-lambatnya tahun 2010 maka akan tercipta pasar tunggal ASEAN di bidang farmasi, dalam arti tidak ada lagi hambatan tarif maupun nontarif dalam perdagangan farmasi di region ASEAN. Ini berarti terbuka peluang bagi industri farmasi untuk mengembangkan ekspor di pasar ASEAN, tetapi pada saat yang sama pasar domestik Indonesia akan terancam masuknya produk-produk farmasi ASEAN dengan lebih leluasa di Indonesia.